
Detail Artikel
Nikmati Bacaan & Temukan Insight Terbaru
Dapatkan informasi lengkap di bawah dan jelajahi rekomendasi artikel lainnya.
The Brand Called You: Bukan Soal Pamer, Tapi Soal Manfaat

Semalam, salah seorang staf saya menelpon dengan excited. Ia baru saja selesai berdiskusi panjang dengan sahabat sekaligus guru saya, Virda Dimas Eka Putra, seorang profesional yang pengalamannya sudah banyak, dari memimpin lembaga zakat nasional hingga bandara internasional. Nasihat yang didapat staf saya sederhana namun dalam: jika ingin mulai membangun jejaring yang kuat, mulailah dengan membangun citra diri atau personal branding di termasuk di media sosial pribadi. Tunjukkan siapa dirimu sebagai insan Kilau Indonesia, dan tunjukkan seperti apa Kilau Indonesia itu melalui dirimu.
Obrolan sederhana itu sangat berkesan bagi saya. Selama bertahun-tahun berkecimpung di dunia filantropi, saya melihat pergeseran besar dalam cara kita berkomunikasi dan membangun kepercayaan. Dulu, lembaga berbicara melalui press release dan laporan tahunan yang kaku. Kini, di zaman digital yang ramai, kepercayaan tidak lagi dibangun oleh logo atau slogan, melainkan oleh hubungan antarmanusia. Setiap anggota tim, dengan akun WhatsApp, Instagram, atau Tiktok mereka, adalah wajah dan suara dari tujuan yang lembaga jalankan.
Ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. Mengabaikannya sama saja dengan membiarkan lembaga kita menjadi sesuatu yang tanpa wajah, tanpa suara pribadi yang bisa dipercaya di tengah lautan informasi yang lalu lalang setiap detik di beranda gadget kita.
Gagasan tentang "membangun citra diri" ini sebenarnya bukan hal baru. Jauh di tahun 1997, seorang pemikir manajemen terkenal bernama Tom Peters mengguncang dunia perusahaan dengan artikelnya, "The Brand Called You". Dalam tulisannya, Peters melontarkan ide yang sangat baru pada masanya. Ia menyatakan, terlepas dari usia atau jabatan, kita semua perlu memahami pentingnya sebuah merek. Peters menulis, "Kita adalah CEO dari perusahaan kita sendiri: Me Inc.". Pesannya jelas: setiap orang harus aktif mengelola nama baik, keahlian, dan nilai yang mereka tawarkan, layaknya sebuah perusahaan mengelola mereknya.
Tentu, saat mendengar istilah "perusahaan" dan "CEO", kita yang bergerak di sektor filantropi dan pemberdayaan mungkin sedikit kurang sreg. Tujuan kita bukanlah mencari keuntungan, melainkan menebar manfaat. Namun, di sinilah letak hubungannya jika kita mampu menerjemahkannya dengan tepat. Bagi seorang pegiat kemanusiaan, konsep "Me Inc." bukanlah tentang "Saya" yang mengejar laba, melainkan tentang "Dampak Saya".
Setiap orang di tim Kilau adalah "CEO" atas keahlian dan kepeduliannya. Tugas utama mereka bukanlah menjadi pemasar untuk diri sendiri, melainkan menjadi pemasar utama untuk nilai-nilai yang mereka dan lembaga yakini bersama. Ketika seorang staf lapangan membagikan cerita asli dari pendampingan pasien penyakit kritis, ia sedang memasarkan nilai kepedulian. Ketika seorang staf program menulis tentang tantangan pendidikan di daerah shelter-shelter binaan ia sedang memasarkan nilai dan solusi.
Kunci agar semua ini berjalan dengan benar adalah kejujuran. Citra diri yang dibangun tidak boleh berupa polesan atau kepura-puraan. Ia harus digali dari "inti" diri yang paling jujur. Apa yang membuat kita bangun setiap pagi untuk melakukan pekerjaan ini? Apa nilai pribadi yang sejalan dengan nilai-nilai dasar lembaga? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi dasar citra diri yang kuat. Tanpa akar keaslian, sebuah citra diri tidak hanya akan rapuh, tetapi juga berbahaya. Sejarah telah menunjukkan, seperti pada kasus Lance Armstrong, citra diri yang dibangun di atas kebohongan pada akhirnya akan runtuh dan membawa kegagalan moral. Di dunia kami, taruhannya jauh lebih besar: kepercayaan masyarakat dan nasib para penerima manfaat.
Ketika setiap orang dalam sebuah organisasi kemanusiaan mulai menyadari dan membangun citra dirinya yang asli, sebuah efek luar biasa akan terjadi. Kekuatan lembaga tidak lagi terpusat pada satu atau dua orang. Jangkauan jejaring kami tidak lagi sekadar penjumlahan kontak para pimpinannya, melainkan menjadi berlipat ganda. Setiap anggota tim menjadi pintu gerbang baru yang membuka akses ke komunitas, mitra, dan sumber daya yang sebelumnya mungkin tak tersentuh.
Ini adalah cara kita menyebarkan kekuatan cerita dan pengaruh, membuat organisasi menjadi lebih hidup, kuat, dan tetap dibutuhkan. Pada akhirnya, inilah mengapa kami mendorong setiap insan di tim kami untuk membangun personal branding mereka: bukan untuk kehebatan pribadi, tetapi sebagai sebuah tanggung jawab bersama demi tujuan bersama, memastikan kisah dan dampak Kilau Indonesia terus bersinar dan menjangkau lebih luas untuk tahun-tahun mendatang.
Artikel Terbaru




