Detail Artikel

Nikmati Bacaan & Temukan Insight Terbaru

Dapatkan informasi lengkap di bawah dan jelajahi rekomendasi artikel lainnya.

Garis Tipis Kegigihan: Kapan Bertahan, Kapan Harus Berbelok?

Dibuat oleh:
Foto penulis Akhmad Sugandi S.P, M.A.P
07 October 2025 02:13 WIB  •  Manajemen
9 kali dilihat 0 komentar

Selama tiga belas tahun berkecimpung di dunia kemanusiaan, saya sering melihat lembaga lahir dengan semangat besar, namun tak sedikit yang layu sebelum berkembang. Mereka hadir dengan niat tulus dan energi meluap, tetapi semangat saja ternyata tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan. Hal ini memunculkan pertanyaan: jika niat baik adalah modal awal semua pegiat sosial, mengapa ada yang mampu bertahan melewati berbagai rintangan, sementara yang lain berhenti di tengah jalan?

Pengalaman mengajarkan saya bahwa jawabannya bukan sekadar "tidak pernah menyerah". Jawabannya adalah "smart persistance": sebuah perpaduan antara keteguhan pada visi jangka panjang dan kelenturan dalam menjalankan strategi. Inilah yang membedakan antara aktivitas sesaat dengan dampak yang berkelanjutan.


Mesin yang Tepat

Gairah memang penting sebagai pemicu awal, tetapi yang membuat sebuah lembaga terus berjalan adalah kegigihan untuk melewati tantangan sehari-hari. Ini bukan tentang aksi heroik, melainkan tentang disiplin untuk tetap mengerjakan tugas-tugas rutin, menghadapi penolakan, dan terus maju saat antusiasme menurun. Untungnya, lembaga kemanusiaan memiliki sumber energi terbarukan, yaitu tujuan mulia yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Namun, mesin ini butuh bahan bakar yang tepat, yaitu pola pikir. Ada perbedaan besar antara mengatakan, "Program kita gagal karena kita tidak mampu," dengan, "Pendekatan kali ini belum berhasil, apa yang bisa kita pelajari untuk selanjutnya?". Pola pikir pertama memandang kegagalan sebagai vonis akhir, sedangkan yang kedua, pola pikir bertumbuh (growth mindset), melihat kegagalan sebagai data berharga untuk perbaikan. Pola pikir inilah yang mengubah "saya tidak bisa" menjadi "saya belum bisa".

Psikolog Angela Duckworth menunjukkan bahwa bakat dikalikan upaya akan menghasilkan keterampilan, dan keterampilan dikalikan upaya akan menghasilkan pencapaian. Artinya, upaya dan kerja keras yang konsisten jauh lebih menentukan hasil akhir daripada sekadar bakat atau niat baik di awal. Organisasi yang menghukum kegagalan secara tidak sadar sedang mematikan kemampuannya sendiri untuk belajar dan bertahan.


Bertahan di Tengah Ketidakpastian

Dunia kemanusiaan penuh dengan ketidakpastian. Rencana kerja yang kaku sering kali menjadi tidak relevan karena perubahan kondisi di lapangan. Lembaga yang bertahan lama biasanya tidak terpaku pada rencana, melainkan pandai beradaptasi. Mereka memulai dengan sumber daya yang ada, bukan menunggu kondisi ideal. Mereka mengambil langkah-langkah kecil yang risikonya terukur, sehingga kegagalan tidak sampai menghancurkan seluruh organisasi.

Selain itu, mereka mampu mengubah rintangan tak terduga menjadi peluang. Sebuah program pertanian yang terhambat kekeringan, misalnya, bisa beralih fokus menjadi program pembangunan sumur resapan. Misinya tetap sama, yaitu ketahanan pangan, tetapi metodenya fleksibel. Terakhir, mereka membangun jaringan kemitraan, bukan bekerja sendiri. Kolaborasi dengan berbagai pihak membuat fondasi organisasi lebih kuat dan tidak bergantung pada satu sumber kekuatan saja.


Tahu Kapan Bertahan, Tahu Kapan Berbelok

Setiap pemimpin akan menghadapi persimpangan krusial: haruskah kita bertahan pada program yang ada, atau sudah waktunya mengubah arah secara mendasar? Kesalahan dalam mengambil keputusan ini bisa menjebak lembaga dalam program yang tidak benar-benar gagal tapi juga tidak berhasil, yang terus menyedot sumber daya tanpa memberikan dampak nyata.

Mengubah arah bukan berarti menyerah, melainkan melakukan koreksi strategis berdasarkan pembelajaran. Keputusan ini harus didasarkan pada data nyata, seperti dampak program terhadap penerima manfaat, bukan sekadar perasaan atau harapan. Jika data menunjukkan tren positif, sekecil apa pun, itu adalah sinyal untuk bertahan. Namun, jika data stagnan setelah berbagai upaya perbaikan, itu adalah tanda kuat bahwa sudah waktunya mencari pendekatan baru. Komitmen kita seharusnya bukan pada programnya, melainkan pada hasil yang diterima oleh masyarakat.


Jebakan Komitmen

Ada sisi gelap dari kegigihan. Tanpa kesadaran untuk beradaptasi, ia bisa berubah menjadi keras kepala yang merusak. Kita sering terjebak oleh investasi waktu, dana, dan tenaga yang sudah dikeluarkan. Kita terus melanjutkan program yang tidak efektif bukan karena prospeknya cerah, tetapi untuk membenarkan keputusan kita di masa lalu.

Kodak, penemu kamera digital, justru hancur karena terlalu gigih mempertahankan bisnis filmnya. Mereka terikat pada identitas "perusahaan film", bukan pada visi "membantu orang berbagi kenangan". Hal serupa terjadi pada Nokia, sang raja ponsel, yang tumbang karena bersikeras pada sistem operasinya sendiri saat dunia beralih ke ekosistem aplikasi. Pelajarannya jelas: kegigihan yang sehat terikat pada visi, sementara kegigihan yang merusak terikat pada metode atau identitas yang kaku.

Pada akhirnya, tujuan sebuah lembaga kemanusiaan bukanlah untuk melanggengkan program-programnya, melainkan menciptakan perubahan yang begitu mendalam hingga suatu saat keberadaannya tidak lagi diperlukan.

Dan inilah harapan saya, agar Kilau Indonesia terus menumbuhkan kegigihan cerdas ini, menjadi organisasi yang lebih setia pada visinya untuk memberdayakan sesama daripada pada metodenya sendiri.

Komentar

Tinggalkan Komentar

Campaign Kilau Indonesia

Customer Service ×